Tahun 2016, Kejaksaan Agung Diprediksi Belum Mampu Ikuti Cara Kerja KPK

Banyaknya jumlah kasus yang mangkrak di Kejaksaan juga menunjukan ketidaksiapan untuk menguji di pengadilan. Dia mencontohkan ada beberapa tersangka dalam kasus tindak pidana korupsi yang telah mendapatkan status tersangka lebih dari 10 tahun, namun status hukum itu tidak meningkat karena perkaranya tidak kunjung dibawa ke pengadilan.
“Di mata jaksa kalau perkara diterbitkan SP3 (surat perintah penghentian penyelidikan) adalah kebodohan,” katanya.
Hal tersebut, menurut Kamilov, yang membuat banyak kasus mangkrak di Kejaksaan.
Selain itu, Kamilov menyoroti integritas jaksa. Terutama pada jaksa yang bertugas di daerah yang jauh dari ibukota. Komisioner Komisi Kejaksaan jilid 2 ini mengaku masih mendapat laporan banyak jaksa yang melakukan pemerasan.
Berbeda dengan Kamilov, Kepala Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter berpendapat kepemimpinan Jaksa Agung Muhammad Prasetyo yang menyebabkan Kejaksaan tidak bisa mengimbangi KPK dalam memberantas koruptor pada 2016.
“Selama setahun (2015), Prasetyo tidak perform, sepatutnya ganti dulu Jaksa Agungnya. Kerja Kejaksaan Agung dalam pemberantasan korupsi masih jauh dari harapan,” kata Lalola Easter kepada Tribunnews, Sabtu (2/1/2016).
Aktivis ICW yang akrab disapa Lola mencontohkan Satgasus. Dia menyebutkan pada awal pembentukannya, Satgasus digadang untuk menyelesaikan kasus korupsi besar. Namun belum berhasil mengungkap banyak perkara.

Pengamat hukum pidana dari Universitas Indonesia, Andi Hamzah berpendapat kinerja Korps Adhyaksa dalam membasmi koruptor masih tebang pilih.
“Yang kecil-kecil dituntut, yang besar-besar diabaikan. Itu telah terjadi ketidakadilan,” kata Andi Hamzah saat dihubungi, Minggu (3/1/2016).
Menanggapi tuntutan publik yang semakin kencang, khususnya pada pemberantasan korupsi, Kejaksaan Agung seolah menjawab. Melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus(Jampidsus), Kejaksaan berkomitmen menuntaskan seluruh tunggakan kasus korupsi pada masa sebelumnya.
“Kami akan nihilkan tunggakan perkara khususnya penyelidikan dan penyidikan,” kata Jampidsus Arminsyah saat acara refleksi akhir tahun Kejaksaan Agung, Rabu (30/12/2015).

Sumber: Tribunnews.com

Read More

Setahun Pemerintahan Jokowi, DPR Minta Jaksa Nakal Dicopot

JAKARTA – Desakan untuk mengevaluasi internal Kejaksaan Agung (Kejagung) jelang setahun pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) kembali mencuat. Hal ini timbul lantaran Jaksa Agung HM Prasetyo dinilai telah gagal dalam melakukan pembinaan maupun pengawasan internal Korps Adhiyaksa tersebut.

Wakil Ketua Komisi III Desmond J Mahesa mengatakan, kondisi pengawasan internal kejaksaan masih memprihatinkan. Hingga kini, kata Desmond, masih banyak jaksa nakal dan praktik penilaian tidak objektif dalam mengawasi kinerja jaksa di Kejagung.

“Ini bukti pimpinan di bidang tersebut tidak becus,” kata Desmond saat dihubungi wartawan, Sabtu (17/10/2015).

Karenanya, kata Desmond, pihaknya akan merekomendasikan kepada pemerintah untuk mencopot dan memberi sanksi administratif kepada pemimpin tertinggi di bidang pengawasan dan pembinaan.

“Para pimpinan yang tidak becus kerja, tidak produktif harus dicopot dan diperiksa. Patut diduga terindikasi adanya permainan dalam menjalankan tugasnya selama ini,” ujar Desmond.

Hal senada juga diungkapkan mantan Komisioner Komisi Kejaksaan Kamilov Sagala. Dia mengatakan, praktik nakal oknum jaksa yang terjadi selama ini membuktikan pengawasan melekat antara pimpinan maupun bawahan di Korps Adhyaksa tidak berjalan semestinya.

“Saya katakan bidang pembinaan maupun pengawasan telah gagal menjalankan fungsinya. Pimpinan di tiap bidang tersebut harus bertanggungjawab atas kondisi yang ada saat ini,” tandas Kamilov.

Kamilov menyebutkan, laporan pelecehan seksual yang dilakukan oknum jaksa terkait upaya memperingan hukuman terdakwa, adalah salah satu contoh yang kerap terjadi di lingkungan kejaksaan.

Selama aktif di Komisi Kejaksaan, Kamilov mengaku kerap menerima laporan serupa. Dia juga mendapati oknum jaksa pemeras dan pemain kasus yang tak tersentuh hukum.

“Masyarakat pun tahu praktik di bidang pengawasan. Presiden melalui Kemenpan Reformasi Birokrasi hendaknya mengaudit bidang pengawasan kejaksaan, termasuk pimpinan yang ada. Karena sudah seperti kanker ‘penyakit’ di pengawasan itu.”

“Pembinaan kejaksaan harus direvolusi mental. Karena pimpinan di bidang itu tidak punya sense of crisis. Tidak energik dan SDM kejaksaan tidak berkembang sejauh ini,” imbuhnya.

source: http://nasional.sindonews.com/read/1053854/13/setahun-pemerintahan-jokowi-dpr-minta-jaksa-nakal-dicopot-1445055518

Read More

Aturan Ganti Rugi Salah Tangkap Polisi Rp 1 Juta Harus Segera Direvisi

Jakarta – Sri Mulyati dan Krisbayudi menjadi saksi atas ketidakprofesionalan aparat penegak hukum. Dibui berbulan-bulan, keduanya yang didampingi LBH Mawar Saron hanya diganti Rp 1 juta oleh negara atas apa yang dialami. Adapun Sri mendapat tambahan ganti rugi Rp 4 juta.

Jumlah ganti rugi maksimal Rp 1 juta bagi para korban salah tangkap dinilai tak memenuhi rasa keadilan. Peraturan Pemerintah (PP) PP Nomor 27 tahun 1983 yang mengatur hal tersebut pun sebaiknya segera diperbaiki.

“Sangat urgent untuk direvisi. Sudah 31 tahun tidak ada upaya revisi dan perbaikan bagi sebuah regulasi. Regulasi saat ini dapat ditinjau per 5 hingga 10 tahun dengan mempertimbangkan adanya perubahan rezim dan rasa keadilan masyarakat saat itu,” ujar pengamat hukum Kamilov Sagala, dalam pesan singkat yang diterima detikcom, Rabu (17/9/2014).

Menurut Kamilov, pemerintah bisa dibilang telah melakukan pembiaran. Sebagai pembuat regulasi terkait hal ini, sebenarnya pemerintah sangat mudah untuk melakukan revisi tersebut.

“Tugas revisi PP ada di pihak eksekutif, artinya sangat mudah sekali presiden untuk meminta bawahannya untuk merevisi PP tersebut,” tutur mantan Komisioner Kejaksaan itu.

Rencananya LBH Mawar Saron akan mengajukan judicial review pasal terkait limitasi ganti rugi ini ke Mahkamah Agung (MA). Menurut LBH Mawar Saron, nominal Rp 1 juta sangat tidak memenuhi rasa keadilan pada era sekarang.
dikutip dari: detik.com

Read More

Pemberian Remisi Bagi Koruptor Bisa Munculkan Niat-niat Korupsi Baru

Jakarta

Berkembang wacana Menkum HAM Yasonna Laoly akan merevisi PP 99 tahun 2012 di mana nantinya koruptor juga bisa mendapatkan remisi. Menurutnya semua napi punya hak yang sama untuk mendapat remisi dan pembebasan bersyarat.

Menurut mantan Komisioner Komisi Kejaksaan Kamilov Sagala, jika itu dilakukan, maka bisa memancing niat orang untuk melakukan korupsi. Pemberian remisi akan membuat koruptor semakin berkembang di Indonesia.

“Kita tahu untuk menghukum koruptor, tujuannya betul-betul mengurangi tindakan korupsi di Indonesia. Kalau ada pemberian remisi, maka akan memancing adanya korupsi,” kata Kamilov, saat dihubungi, Selasa (17/3/2015).

“Pak Yasonna sebagai Menkum HAM tidak melihat efek itu akan kian berkembang dengan adanya remisi,” lanjutnya.

Kamilov mengatakan, pemberian vonis berat bagi para koruptor bisa diartikan bahwa korupsi tidak diterima di Indonesia. Jika dilakukan remisi, maka bisa jadi bentuk pelemahan terhadap penegakkan hukum.

“Sebaiknya dilakukan kerja sosial, misal di panti asuhan, panti weda, dan segala macam. Kalau itu dijadikan bentuk remisi, itu lebih bagus. Kalau dimiskinkan, akan lebih keras, tapi saya mengarah pada kerja sosial,” jelas Kamilov.

“Jauh dari harapan masyarakat dan harapan presiden sendiri,” tegasnya.

dikutip dari: detik.com

Read More

Eks Komisioner Komjak: Pimpinan KPK Tak Harus Ada dari Kejaksaan

Jakarta – Komisi III DPR masih mempersoalkan tidak adanya unsur kejaksaan dari delapan nama calon pimpinan KPK yang diajukan Presiden. Akibatnya, penentuan terkait jadwal uji kelayakan dan kepatutan kedelapan calon pun, kembali molor.

Mantan Komisioner Komisi Kejaksaan Kamilov Sagala berpendapat, tidak ada keharusan pimpinan KPK diisi dari unsur kejaksaan. Melainkan bergantung kepada siapa pun yang berhasil lolos dalam seleksi yang digelar panitia seleksi (pansel).

“Secara aturan tidak harus dipenuhi, siapa pun yang memungkinkan menjadi salah satu pimpinan KPK, tergantung di Pansel,” kata Kamilov saat dihubungi detikcom, Rabu (25/11/2015).

Baca juga: Chandra Hamzah Tegaskan Unsur Pimpinan KPK Tak Wajib dari Polisi/Jaksa

Menurut Kamilov, bukan asal institusi yang harus dipersoalkan, tapi apakah calon tersebut memiliki integritas yang baik atau tidak. Apalagi pada dasarnya Kejaksaan telah mengirim beberapa orang ke pansel untuk diseleksi, namun tidak ada yang lolos.

“Yang menentukan integritas calon itu pansel. Sebenarnya kan kejaksaan juga telah mengirim calonnya, tapi ternyata tidak memenuhi syarat. Harusnya Komisi III mencermati putusan pansel itu dan tidak memaksakan,” jelas Kamilov.

“Komisi III terlalu melankolis, padahal itu sudah dipenuhi Kejagung (untuk mengirim calon), kenapa harus diloloskan kalau memang tidak menenuhi syarat. Itu alasan yang diada-adakan,” lanjutnya.

Pimpinan Rapat Komisi III yang membahas ‘nasib’ capim KPK, Azis Syamsuddin, sebelumnya menjelaskan bahwa salah satu alasan penundaan rapat menjadi Senin (30/11) pekan depan salah satunya karena masih ada perdebatan terkait tidak adanya unsur kejaksaan dalam capim KPK. Ia tak ingin mengambil keputusan jika belum ada suara bulat dari forum rapat.

“Terdapat silang pandangan di antara anggota Komisi III terutama keterwakilan unsur kejaksaan (dalam pimpinan KPK), yang menurut teman-teman komisi III merujuk UU Tipikor, UU KPK serta UU Kejaksaan, untuk adanya keterwakilan unsur kejaksaan,” ucap Aziz usai rapat di gedung DPR, Jakarta, Rabu (25/11).

dikutip dari: detik.com

Read More